The Right Path of Islam

Sepuluh Kriteria MUI Sebagai Pedoman Umat Islam
Majelis Ulama Indonesia (MUI) akhirnya mengeluarkan pedoman berisi 10 kriteria untuk mengidentifikasi suatu ajaran termasuk aliran sesat. Ke-10 kriteria tersebut termasuk kriteria yang menyimpang dari aqidah, rukun iman dan rukun Islam.

Ketua Panitia Pengarah Rapat Kerja Nasional (Rakernas) MUI 2007, Yunahar Ilyas mengatakan bahwa ”Suatu paham atau aliran keagamaan dapat dinyatakan sesat apabila memenuhi salah satu dari 10 kriteria tersebut”.

Ke-10 kriteria itu, mengingkari Rukun Iman dan Rukun Islam, meyakini dan atau mengikuti akidah yang tidak sesuai dalil syar’i (Al-Quran dan Sunah), meyakini turunnya wahyu setelah Al-Quran, mengingkari otentisitas dan atau kebenaran isi Al-Quran serta melakukan penafsiran Al-Quran yang tidak berdasarkan kaidah tafsir.

Selain itu, mengingkari kedudukan Hadist Nabi sebagai sumber ajaran Islam, melecehkan dan atau merendahkan para nabi dan rasul, mengingkari Nabi Muhammad SAW sebagai nabi dan rasul terakhir, mengubah pokok-pokok ibadah yang telah ditetapkan syariah, dan mengafirkan sesama muslim tanpa dalil syar’i.


Adian Husaini
Beliau menegaskan kembali dalam catatan akhir pekannya (CAP, hidayatullah.com) bahwa Islam adalah agama wahyu yang memiliki batas-batas yang jelas. Ada rukun iman dan rukun Islam. Orang yang menolak kenabian Muhammad SAW, pastilah sudah berdiri di luar Islam. Agama lain juga memiliki batas-batas atau definisi sendiri. Kaum Kristen yang tidak mengakui otoritas Gereja Katolik dalam penafsiran Bibel, maka dia sudah berdiri di luar agama Katolik, meskipun dia juga mengakui Yesus sebagai Tuhannya.

Karena itu, sangatlah aneh dan absurd dan keliru jika kaum liberal menyatakan, penafsiran apapun terhadap Al-Quran bisa dibenarkan.

Kita menyatakan, ada tafsir yang benar dan ada tafsir yang salah. Tidak semua tafsir bisa dibenarkan? Kalau mereka bertanya, benar menurut siapa? Tentu benar menurut ahli tafsir, orang yang mempunyai otoritas di bidang tafsir. Di sinilah, kita saat ini menghadapi persoalan. Sebab, kaum liberal juga berusaha keras merebut otoritas dalam penafsiran agama. Banyak diantara mereka yang merupakan profesor atau doctor dalam bidang studi Islam.

Dengan otoritas keagamaan yang mereka miliki, kemudian mereka melakukan penyesatan kepada manusia. Dalam hal ini, mereka masuk kategori ulama su’, ulama yang jahat. Ulama yang dengan ilmunya justru menyesatkan manusia.


Muhammad SAW Sebagai Penutup Para Nabi
Sabda Rasulullah SAW: “Perumpamaanku dengan para nabi lainnya sebelumku adalah laksana seorang yang sedang mendirikan bangunan. Maka dibaguskan dan dibuat indah bangunan itu, kecuali satu batu bata (yang belum dipasang) pada salah satu penjurunya. Maka orang-orang mengelilinginya dan merasa heran serta bertanya: “Mengapakah batu bata ini belum dipasang?” Rasulullah SAW bersabda: ”Aku inilah bata itu dan aku adalah penutup para nabi.” (HR Muslim dari Abu Hurairah).

Dalam hadits lainnya, Rasulullah SAW bersabda: “Di antara umatku akan ada pendusta-pendusta, semua mengaku dirinya nabi, padahal aku ini penutup sekalian nabi.” (HR Ibn Mardawaihi, dari Tsauban).

Dari dua hadits tersebut dan banyak hadits Rasulullah SAW lainnya, sangatlah jelas dimana posisi Nabi Muhammad SAW. Beliau adalah penutup para nabi. Sesudah beliau tidak ada nabi lagi.

 

Al-Qiyadah Tidak Mengerti Sejarah Islam

Salah satu tanggapan al-Qiyadah terhadap fatwa MUI di Yogyakarta yang disampaikan oleh juru bicaranya Ahmad Hadi Subroto Puspito adalah tentang tidak adanya kewajiban shalat lima waktu di kalangan mereka.

Dikatakannya bahwa "... Sekali lagi, untuk menjalankan Islam kaffah harus berdasarkan kondisi, step by step menurut contoh Rasulullah, khususnya Muhammad SAW. Kemudian apabila bapak-bapak bertanya, mengapa untuk menjalankan ritual sholat lima waktu musti menunggu di Madaniyah? Apa susahnya sholat lima waktu diperiode Makiyah? Kami tidak bisa menjawab. Tanyakan saja kepada Allah dan Rasulullah Muhammad! Mengapa Rasulullah Muhammad tidak shalat lima waktu semasa kondisi makiyah? Kami hanya mencontoh sunnah yang ditinggalkan beliau."

Tanggapan al-Qiyadah itu hanya sebuah akal-akalan saja, sembrono dan tanpa dasar sama sekali, dan al-Qiyadah tidak pernah belajar bagaimana Islam masuk ke kawasan Nusantara ini.

Prof. Dr. Buya Hamka dengan sangat valid berhasil menegaskan bahwa agama Islam tiba di negeri ini bukan di abad ke 13 sebagaimana yang dikarang oleh seorang orientalis Dr. Snouck Hurgronje, melainkan di abad ke 7. Yakni masih di zaman para sahabat Nabi SAW. Bahkan Hamka memastikan bahwa salah seorang sahabat Nabi SAW, yaitu Yazid bin Muáwiyah telah menginjakkan kakinya di Nusantara ini.

Allah SWT menyatakan bahwa para sahabat merupakan sebaik-baik umat, Dia berfirman [artinya]:

"Kalian adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang maruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah." (QS Ali-Imran:110)

Rasulullah SAW bersabda: "Sebaik-baik manusia adalah pada generasiku (sahabat), kemudian setelahnya (tabiin) kemudian setelahnya (tabiut tabiin)" (HR. Bukhari & Muslim dan lainnya)

Jika demikian, pantaskah Yazid bin Muáwiyah seorang sahabat Rasulullah SAW yang diakui ketaqwaannya oleh Allah SWT dan dimasukkan kedalam sebaik-baik umat melakukan manipulasi terhadap ajaran-ajaran Islam?. Demi Allah, Yazid bin Muáwiyah tidak akan pernah berani berbuat seburuk itu.

Jika al-Qiyadah benar maka sejak kapan periode Makiyah itu sebetulnya dimulai? Bukankah sejak abad ke 7 tersebut Nusantara sudah mengenal Islam? Itu berarti jika mereka konsekuen maka saat itulah periode Makiyah terjadi. Tapi ternyata tidak, al-Qiyadah hingga saat ini masih meyakini periode Makiyah berlangsung. Lantas, hingga kapan?.

Sekali lagi jika al-Qiyadah benar maka sudah barang tentu orang-orang tua kita dahulu tidak akan pernah mengenal shalat lima waktu dan kita anak-anaknyapun sudah pasti menjadi orang-orang yang meninggalkan shalat pula. Seharian kita akan menjadi peminum khamar kelas berat, karena di periode Makiyah khamar belum diharamkan, bukan?. Naudzubillahi min dzalik.

Tapi ternyata tidak demikian, al-Qiyadah benar-benar telah salah jalan. Lihatlah kembali sejarah Islam di Indonesia. Dan kita telah mengenal para wali Allah yang demikian kuat menegakkan Islam dengan sebenar-benarnya.

Islam telah sempurna, sebagaimana firman Allah:

"Telah kusempurnakan Agamamu, telah kucukupkan nikmat-Ku kepadamu, dan telah Ku-ridhoi Islam sebagai agama kalian" (QS Almaidah 3)

Maka jelas sudah periode Makiyah dan Madaniyah hanyalah sebuah bagian sejarah Islam, dan wafatnya Nabi SAW adalah sebuah pertanda telah berakhirnya masa kerasulan Muhammad SAW.

Tidakkah telah sampai satu riwayat kepadamu wahai al-Qiyadah bahwa Nabi SAW pernah mengumpulkan sahabat-sahabatnya dan mempersilahkan mereka untuk membalas perlakuan Nabi SAW saat itu juga. Jika mereka pernah sakit hati karena terpukul saat peperangan maka balaslah pukulan tersebut saat itu juga dan seterusnya ... hingga datanglah seseorang yang kemudian memeluk Nabi SAW karena saking cintanya kepada beliau.

Dan Nabi SAW pernah bertanya dengan tegas kepada umatnya apakah risalah Islam telah sempurna disampaikan? Dan mereka menjawab sudah ... dengan demikian tenanglah Nabi SAW untuk bersiap diri meninggalkan dunia yang fana ini.

Al-Qiyadah mungkin tidak pernah membaca riwayat-riwayat tersebut atau memang mereka termasuk golongan yang mengingkari al-hadits?. Wallahuálam.

 

Kesesatan Al-Qiyadah Al-Islamiyah

Gegernya kemunculan nabi palsu laknatullah Ahmad Moshaddeq di Indonesia telah mengingatkan kita kembali dengan sosok laknatullah Musailamah al-Kadzdzab yang juga mengaku sebagai nabi di era kenabian Muhammad Rasulullah SAW. Bedanya, kehadiran Ahmad Moshaddeq terjadi kurang lebih 1400 tahun kemudian setelah wafatnya Nabi Muhammad SAW. Dan Musailamah tewas ditangan Khalid bin Walid dalam sebuah peperangan di zaman kekhalifahan Abu Bakar RA.

Sebetulnya ada banyak lagi nabi-nabi palsu lainnya selain mereka (Ahmad Moshaddeq dan Musailamah al-Kadzdzab), yaitu (dikutip dari blog tausiyah275.blogsome.com):

1. Aswad al-Ansi dari Yaman, muncul di zaman Rasulullah SAW.
2. Tulaihah al-Asadi, muncul di jaman Rasulullah SAW, dari kabilah Bani Asad. Namun diakhir hayatnya dia bertaubat.
3. Sajjah binti al-Harits, muncul sesaat setelah Rasulullah SAW wafat. Dia berasal dari suku Tamim di Irak. Diakhir hayatnya bertaubat dan menjadi muslimah.
4. Ahmad bin Husain
5. Laqit
6. Mirza Ghulam Ahmad, muncul di akhir 1800-awal 1900an. ‘Diangkat’ menjadi nabi oleh Inggris, dan kelompoknya disebut Ahmadiyah. Di akhir hayatnya mati karena penyakit yang mengenaskan.
7. Mirza Ali Muhammad
8. Bahaullah, pendiri agama Baha’i.
9. Al-Mukhtar bin Ubaidillah
10. Ibnu Sam’an
11. Amir bin Harb
12. Abu Mansur al-Ijli
13. Ibnu Said as-Sajli
14. Abu Khattab al-Asadi
15. Ibnu Bahram al-Juba’i
16. Hasan bin Hamdan
17. Abu Qasim an-Najar
18. Al-Muni’ul Qashar
19. Ibnu Kharba al-Kindi
20. Abu Muslim as-Siraj
21. Harits bin Saad, muncul di jaman khalifah Abdul Malik bin Marwan (Bani Umayyah). Mati dibunuh oleh pengikutnya sendiri.
22. Isa al-Asfahani, muncul di jaman khalifah al-Mansur (Bani Abbasiyah). Dihukum mati.


Nabi-nabi Palsu Dari Indonesia
Tidak ketinggalan pula di negeri seribu satu mimpi ini, Indonesia. Selain berhasil melahirkan generasi koruptor kelas kakap juga telah melahirkan beberapa nabi palsu, antara lain:

1. Zikrullah Aulia Allah, dari Sulawesi Tengah.
2. Ali Taetang, dari Banggai.
3. Dedi Mulyana alias Eyang Ended, dari Banten. Nabi palsu ini sebenarnya malah dukun cabul.
4. Lia Aminuddin, dari Jakarta. Dia mengaku sering mendapat wahyu dari malaikat Jibril.


Nubuat Ahmad Moshaddeq

Pengakuan Ahmad Moshaddeq sebagai nabi penggenap ajaran Nabi Muhammad SAW benar-benar telah menjadi headline berita-berita nasional. Banyak kaum muslimin memakinya dan bahkan mereka menganjurkan pemerintah untuk bertindak tegas atas perbuatannya.

Inilah pengakuan Ahmad Moshaddeq:

“Saya tidak membawa agama baru, saya hanya menggenapkan nubuat Allah dalam Al-Qur’an, seperti halnya Muhammad menggenapkan ajaran Isa dan Musa,” kata Moshaddeq saat bertandang ke Kantor Majalah Tempo, Kamis siang.

Dan pada 4 Oktober lalu, MUI akhirnya mengeluarkan fatwa sesat terhadap pendiri Al-Qiyadah al-Islamiyah ini karena tidak mewajibkan shalat lima waktu kecuali shalat malam. “Aliran ini dianggap sesat dan menyesatkan,” kata Ketua MUI KH Ma’ruf Amin yang didampingi Ketua Komisi Fatwa KH Anwar Ibrahim, Ketua Komisi Pengkajian dan Pengembangan MUI H. Utang Ranuwijaya.

Menurut Moshaddeq, syahadat kepada Al Masih Al Maw’ud (Ahmad Moshaddeq) tidak bertentangan dengan ajaran Islam. Seperti halnya, ajaran Musa yang dimurnikan kembali oleh Isa. Moshaddeq mengaku dirinya mendapat perintah dari Allah untuk menyatakan kerasulannya dan memurnikan ajaran Musa, Isa dan Muhammad atau Din Al-Islam melalui mimpi setelah bertapa selama 40 hari 40 malam di salah satu villanya di Gunung Bunder, Bogor pada 23 Juli 2006.

Padahal al-Qurán sudah jelas-jelas menyatakan akan kesempurnaan ajaran agama langit ini (al-Islam).

“Hari ini telah Ku sempurnakan agamamu ini untuk kalian, dan Ku cukupkan nikmat Ku kepadamu dan Ku ridhoi Islam sebagai agamamu” (QS: Almaidah 3)

Lebih dari itu Nabi Muhammad SAW sendiri juga telah menegaskan dalam sabdanya:

"Berpeganglah kepada Sunnah-ku (Rasulullah) dan Sunnah Khulafaur rasyidin yang diberi petunjuk sesudahku. Berpegang teguhlah dengannya (Sunnah tsb-pent), dan gigitlah ia (sunnah tsb-pent) dengan gerahammu. Serta takutlah akan perkara yang mengada-ada, sesungguhnya semua perkara yang mengada-ada (Dalam Agama-pent) adalah Bid'ah, dan semua bid'ah adalah Sesat." HR Muslim

Tidakkah Moshaddeq telah membaca/mendengar ayat-ayat tersebut? Bagaimana mungkin Allah SWT melupakan janjinya bahwa agama Islam telah sempurna dan diridhoi-Nya sebagai satu-satunya agama bagi umat manusia hingga akhir zaman sementara dilain waktu memberikan 'nubuat' bagi Moshaddeq? Sungguh ini tidak benar dan Allah SWT terhindar dari sifat-sifat tercela seperti itu. Allah SWT adalah Maha Penepat Janji. Maka, nyatalah kebohongan Moshaddeq!.

Moshaddeq sang pensiunan Pegawai Negeri Sipil (PNS) Pemerintah DKI Jakarta yang dulunya membidangi Olahraga. Mengatakan bahwa dirinya mendapat perintah dari Allah untuk menyatakan kerasulannya dan memurnikan ajaran Musa, Isa dan Muhammad atau Din Al-Islam melalui mimpi setelah bertapa selama 40 hari 40 malam di salah satu villanya di Gunung Bunder, Bogor pada 23 Juli 2006.

Sebelum membentuk Al-Qiyadah, Moshaddeq mengaku turut membangun KW-9 Negara Islam Indonesia (NII). “Panji Gumilang itu nggak ada apa-apanya,” ujarnya. Ia menganggap Kartosuwiryo adalah nabi dan mengagumi disiplin para pengikut KW-9. Namun, 10 tahun di NII tidak membuat dirinya puas sehingga ia keluar.


Buku Ajaran al-Qiyadah Diterbitkan
Majelis Ulama Indonesia (MUI) DIY mensiyalir, jamaah Al-Qiyadah Al-Islamiyah yang dinyatakan sebagai ajaran sesat telah menerbitkan sebuah buku yang memuat tentang ajaran mereka. Diperkirakaan buku yang dicetak sejak bulan Februari lalu ini telah beredar luas di wilayah Yogyakarta.

“Buku ini memuat tentang ajaran mereka dan kisah Al-Masih Al-Maw’ud mendapatkan wahyu,” terangnya Jumat (21/9/2007). Ajaran jemaah ini selain tidak mewajibkan puasa lima waktu dan puasa di bulan Ramadhan, syahadat yang mereka ucapkan juga menganti nama Nabi Muhammad dengan Al Masih Al Maw’ud, nabi yang mereka percayai.

Lebih jauh, Achmad Muhsin mengungkapkan, sejauh ini pihaknya belum mengetahui seberapa jauh penyebaran buku dan pengikut dari jamaah ini. Hanya saja pihaknya menyakini buku ini dicetak dalam jumlah yang banyak.


Penentangan Ahmad Moshaddeq Terhadap Fatwa MUI
Ahmad Mushaddeq dalam sebuah pengajian yang dibinanya di kawasan Jakarta Selatan dalam sebuah hotel, Selasa (10/24) menyatakan tidak gentar atas dikeluarkannya fatwa MUI tersebut. Dia menyatakan, akan tetap menyebarkan ajaran yang diyakininya sebagai suatu kebenaran hakiki. 'Sang rasul' juga menyatakan siap menanggung segala resiko, termasuk kemungkinan menghadapi tuntutan hukum atas penodaan agama.


Ya Allah ... inikah akhir zaman yang diberitakan oleh Utusan Terakhir Mu (Muhammad SAW) dulu?



Catatan:
Dikutip dari berbagai sumber

 

Pencarian Ilmu Hakikat Al-Ghazali

Perjalanan ilmiah sang Hujjat Al-Islam Al-Ghazali penuh liku-liku. Dia banyak menulis buku ilmiah dan filsafat. Namun pada pertengahan perjalanannya dia mengalami keraguan terhadap ilmu pengetahuan yang diperoleh melalui pancaindera dan akalnya. Berbagai pertanyaan di dalam hatinya muncul mempertanyakan ilmu hakikat, kehidupan yang diridhai Allah, dan lain-lain. Keraguan terhadap ilmu yang dipahami melalui pancaindera dan akal sungguh telah membuatnya skeptis. Dalam beberapa alinea dari mukadimah Makhthuh Al-Washaya Al-Muhasibi karya Al-Ghazali, dan juga pengantar risalahnya Al-Munqidz min Al-Dhalal, Al-Ghazali mengatakan:

"... Selanjutnya, sesungguhnya telah sampai kepada kita bahwa umat ini akan terpecah belah menjadi 77 sekte, yang diantaranya hanya satu sekte yang selamat. Allah Maha Tahu terhadap seluruh sekte-sekte tersebut. Aku masih memiliki kesempatan dari sisa usiaku untuk melihat perselisihan umat. Aku mencari metode yang jelas dan jalan yang lurus. Aku mencari ilmu dan amal, mencari petunjuk jalan akhirat dengan bimbingan para ulama. Aku banyak berpikir mengenai firman-firman Allah dengan penafsiran para fuqaha (orang-orang yang memahami agama). Aku merenungkan berbagai kondisi umat, berbagai pandangannya, dan aku pun pikirkan mengenai hal-hal itu semua sesuai dengan kesanggupanku ..."

"Aku yakin perselisihan mereka seperti lautan yang dalam. Banyak orang tenggelam ke dalamnya, dan hanya sekelompok kecil yang selamat ..."

"Aku yakin setiap golongan dari mereka mengira bahwa keselamatan adalah dengan mengikuti mereka, dan sesungguhnya yang akan binasa ialah orang yang menentang mereka."

"Aku yakin di antara mereka ada orang álim (yang mengetahui) urusan akhirat. Menemuinya sulit dan ketika hadir di hadapan umat sangat mulia. Di antara mereka ada orang yang bodoh. Ketika ia jauh dari si álim dianggapnya sebagai keuntungan baginya. Di antara mereka ada yang menyerupai ulama, namun tergila-gila dengan dunia dan sangat mencintainya. Di antara mereka ada yang memikul ilmu yang berhubungan dengan agama. Dengan ilmunya ia mencari kehormatan dan kedudukan tinggi. Dengan agama ia memperoleh kekayaan dunia. Di antara mereka ada yang menyerupai ahli ibadah. Ia mengkomersilkan kebaikan. Padanya tidak ada kecukupan, ilmunya tiada abadi, serta tidak ada sandaran bagi ilmunya."

"Di antara mereka ada orang yang hafal ilmu, namun ia tidak mengetahui tafsiran dari hafalannya. Ada juga orang yang menyandarkan dirinya pada nalar dan kecerdasan, namun pada dirinya tidak ada sifat wara' dan takwa. Ada juga sekelompok orang yang saling mencintai. Mereka bersepakat terhadap keinginan hawa nafsu, berkorban untuk kepentingan dunia, dan yang mereka cari adalah kehormatan. Di antara mereka juga ada syetan-syetan dari jenis manusia. Mereka berpaling dari akhirat, serakah terhadap dunia, tergesa-gesa mengumpulkannya, serta sangat senang memperkaya diri."

"Aku mengintrospeksi diri (bermuhasabah) dari sifat-sifat tersebut, namun tiada kesanggupan untuknya. Aku pergi mencari petunjuk dari orang-orang yang telah mendapatkan petunjuk dengan cara mencari kebenaran dan petunjuk. Aku pergi mencari bimbingan ilmu, mempergunakan pemikiran, dan aku cukup lama menanti. Maka akhirnya kebenaran dan petunjuk itu tampak padaku dari Kitabullah, Sunah Nabi-Nya, dan kesepakatan (ijma') umat. Sesungguhnya mengikuti keinginan (hawa nafsu) itu menjadikan sikap menutup dari petunjuk (al-rusyd), menyimpang dari kebenaran (al-haqq), dan menjadikan lama tinggal dalam buta hati."

"Aku mulai dengan pencabutan keinginan dari kalbuku. Aku berdiri tegak di hadapan perselisihan umat guna mondar-mandir mencari kelompok yang akan selamat, sambil sangat hati-hati terhadap berbagai keinginan buruk dan kelompok yang akan celaka karena khawatir ada penyerbuan sebelum mendapat kejelasan."

Hal tersebut mengilustrasikan pendahuluan yang istimewa bagi manhaj (metode) Al-Ghazali dalam pencariannya tentang ilmu yakin.

Al-Ghazali pada akhirnya mengasingkan diri dari lingkungannya di Baghdad setelah dia mengabdi selama empat tahun di Madrasah Nizhamiah. Selanjutnya dia melakukan perjalanan panjang menuju Makkah, Madinah, Bait Al-Muqaddas dan Damaskus. Selama sepuluh tahun dalam pengembaraan, dia mengisolasi diri untuk beribadah dan berkontemplasi. Namun demikian Al-Ghazali terus berkarya, dan di antara hasil karyanya yang abadi hingga kini antara lain Ihya Ulumiddin.

Dari kondisi khalwat ini, Al-Ghazali menemukan apa yang disebutnya ilmu hakikat. Menurutnya, nur yang dicampakkan ke dalam dirinya telah membukakan ilmu hakikat yang bersumber dari nur Ilahi. Nur ini akan diberikan Allah kepada hamba-Nya yang berusaha mencarinya.


Catatan:
Dikutip dari buku terjemahan Al-Risalat Al-Laduniyah Imam Al-Gazali, bab Epistomologi Ilmu Laduni.

 

Getting Married and Staying Married!

Sangat disesalkan apa yang telah terjadi akhir-akhir ini dimana banyak pasangan muda muslim memilih bercerai daripada mencari solusi jitu bagi kelangsungan hidup perkawinan mereka. Berbagai alasanpun dikemukakan seperti masalah ketidakcocokan pasangan hidupnya dan ketidaktahuan bagaimana cara mengatasinya juga adanya tekanan dari pihak keluarga dan masyarakat.

Melalui media ini saya ingin mengajak para pembaca untuk berbagi tips atau kiat-kiat mempertahankan kelangsungan hidup perkawinan bagi pasangan yang akan segera menikah atau sudah menikah. Mari kita coba kurangi angka perceraian di negeri ini ;).

So, bergabunglah bersama kami untuk menyumbangkan pikiran dan kiat-kiat dalam mengatasi/menghindari masalah-masalah pernikahan.

Beberapa hal yang harus dipertimbangkan adalah:

Apakah orang-orang muda telah menjadi individualistik?
Apakah orang-orang muda akhir-akhir ini menjadi naif untuk menikah?
Apakah pasangan-pasangan muda telah memberikan yang terbaik bagi pasangannya?
Apakah pasangan-pasangan muda telah memperlakukan pasangannya secara benar dengan memberikan hak-haknya secara tepat?