Pencarian Ilmu Hakikat Al-Ghazali

Perjalanan ilmiah sang Hujjat Al-Islam Al-Ghazali penuh liku-liku. Dia banyak menulis buku ilmiah dan filsafat. Namun pada pertengahan perjalanannya dia mengalami keraguan terhadap ilmu pengetahuan yang diperoleh melalui pancaindera dan akalnya. Berbagai pertanyaan di dalam hatinya muncul mempertanyakan ilmu hakikat, kehidupan yang diridhai Allah, dan lain-lain. Keraguan terhadap ilmu yang dipahami melalui pancaindera dan akal sungguh telah membuatnya skeptis. Dalam beberapa alinea dari mukadimah Makhthuh Al-Washaya Al-Muhasibi karya Al-Ghazali, dan juga pengantar risalahnya Al-Munqidz min Al-Dhalal, Al-Ghazali mengatakan:

"... Selanjutnya, sesungguhnya telah sampai kepada kita bahwa umat ini akan terpecah belah menjadi 77 sekte, yang diantaranya hanya satu sekte yang selamat. Allah Maha Tahu terhadap seluruh sekte-sekte tersebut. Aku masih memiliki kesempatan dari sisa usiaku untuk melihat perselisihan umat. Aku mencari metode yang jelas dan jalan yang lurus. Aku mencari ilmu dan amal, mencari petunjuk jalan akhirat dengan bimbingan para ulama. Aku banyak berpikir mengenai firman-firman Allah dengan penafsiran para fuqaha (orang-orang yang memahami agama). Aku merenungkan berbagai kondisi umat, berbagai pandangannya, dan aku pun pikirkan mengenai hal-hal itu semua sesuai dengan kesanggupanku ..."

"Aku yakin perselisihan mereka seperti lautan yang dalam. Banyak orang tenggelam ke dalamnya, dan hanya sekelompok kecil yang selamat ..."

"Aku yakin setiap golongan dari mereka mengira bahwa keselamatan adalah dengan mengikuti mereka, dan sesungguhnya yang akan binasa ialah orang yang menentang mereka."

"Aku yakin di antara mereka ada orang álim (yang mengetahui) urusan akhirat. Menemuinya sulit dan ketika hadir di hadapan umat sangat mulia. Di antara mereka ada orang yang bodoh. Ketika ia jauh dari si álim dianggapnya sebagai keuntungan baginya. Di antara mereka ada yang menyerupai ulama, namun tergila-gila dengan dunia dan sangat mencintainya. Di antara mereka ada yang memikul ilmu yang berhubungan dengan agama. Dengan ilmunya ia mencari kehormatan dan kedudukan tinggi. Dengan agama ia memperoleh kekayaan dunia. Di antara mereka ada yang menyerupai ahli ibadah. Ia mengkomersilkan kebaikan. Padanya tidak ada kecukupan, ilmunya tiada abadi, serta tidak ada sandaran bagi ilmunya."

"Di antara mereka ada orang yang hafal ilmu, namun ia tidak mengetahui tafsiran dari hafalannya. Ada juga orang yang menyandarkan dirinya pada nalar dan kecerdasan, namun pada dirinya tidak ada sifat wara' dan takwa. Ada juga sekelompok orang yang saling mencintai. Mereka bersepakat terhadap keinginan hawa nafsu, berkorban untuk kepentingan dunia, dan yang mereka cari adalah kehormatan. Di antara mereka juga ada syetan-syetan dari jenis manusia. Mereka berpaling dari akhirat, serakah terhadap dunia, tergesa-gesa mengumpulkannya, serta sangat senang memperkaya diri."

"Aku mengintrospeksi diri (bermuhasabah) dari sifat-sifat tersebut, namun tiada kesanggupan untuknya. Aku pergi mencari petunjuk dari orang-orang yang telah mendapatkan petunjuk dengan cara mencari kebenaran dan petunjuk. Aku pergi mencari bimbingan ilmu, mempergunakan pemikiran, dan aku cukup lama menanti. Maka akhirnya kebenaran dan petunjuk itu tampak padaku dari Kitabullah, Sunah Nabi-Nya, dan kesepakatan (ijma') umat. Sesungguhnya mengikuti keinginan (hawa nafsu) itu menjadikan sikap menutup dari petunjuk (al-rusyd), menyimpang dari kebenaran (al-haqq), dan menjadikan lama tinggal dalam buta hati."

"Aku mulai dengan pencabutan keinginan dari kalbuku. Aku berdiri tegak di hadapan perselisihan umat guna mondar-mandir mencari kelompok yang akan selamat, sambil sangat hati-hati terhadap berbagai keinginan buruk dan kelompok yang akan celaka karena khawatir ada penyerbuan sebelum mendapat kejelasan."

Hal tersebut mengilustrasikan pendahuluan yang istimewa bagi manhaj (metode) Al-Ghazali dalam pencariannya tentang ilmu yakin.

Al-Ghazali pada akhirnya mengasingkan diri dari lingkungannya di Baghdad setelah dia mengabdi selama empat tahun di Madrasah Nizhamiah. Selanjutnya dia melakukan perjalanan panjang menuju Makkah, Madinah, Bait Al-Muqaddas dan Damaskus. Selama sepuluh tahun dalam pengembaraan, dia mengisolasi diri untuk beribadah dan berkontemplasi. Namun demikian Al-Ghazali terus berkarya, dan di antara hasil karyanya yang abadi hingga kini antara lain Ihya Ulumiddin.

Dari kondisi khalwat ini, Al-Ghazali menemukan apa yang disebutnya ilmu hakikat. Menurutnya, nur yang dicampakkan ke dalam dirinya telah membukakan ilmu hakikat yang bersumber dari nur Ilahi. Nur ini akan diberikan Allah kepada hamba-Nya yang berusaha mencarinya.


Catatan:
Dikutip dari buku terjemahan Al-Risalat Al-Laduniyah Imam Al-Gazali, bab Epistomologi Ilmu Laduni.

 

0 comments: